PLUSBERITA – Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sumatera Utara, Khoirul Muttaqien, mengungkapkan bahwa korban dari praktik judi online dan pinjaman online (pinjol) ilegal sebagian besar berasal dari kalangan masyarakat menengah ke bawah. Menurutnya, kelompok ini lebih rentan terhadap godaan iklan yang sering kali menjanjikan keuntungan instan dan fasilitas yang mudah diakses.
Dalam keterangannya pada Kamis (15/8), Muttaqien menjelaskan, “Pinjol dan judi slot gacor online umumnya menargetkan masyarakat menengah ke bawah. Mereka cenderung mudah tergoda oleh iklan-iklan yang mengiming-imingi gaya hidup hedonis, sementara kalangan menengah ke atas biasanya lebih sadar dan teredukasi mengenai risiko-risiko tersebut.”
Dia menambahkan bahwa banyak warga yang terjebak dalam praktik pinjol karena iming-iming kemudahan pencairan dana. “Misalnya, untuk membeli telepon genggam, mereka sering kali memilih menggunakan layanan paylater atau pinjol tanpa mempertimbangkan kebutuhan yang sesungguhnya. Ini sangat memprihatinkan,” ujarnya.
Berdasarkan data OJK per 12 Juli 2024, hanya terdapat sekitar 98 perusahaan fintech lending atau lembaga peminjaman berizin di Indonesia, dengan 21 di antaranya berada di wilayah Sumatera Utara. Di sisi lain, OJK mencatat ada sebanyak 654 entitas pinjol ilegal yang beroperasi di berbagai situs dan aplikasi.
Muttaqien juga menyoroti rendahnya tingkat literasi keuangan di Sumut dibandingkan dengan inklusi keuangan. Dia menjelaskan bahwa literasi keuangan penting untuk meningkatkan pemahaman masyarakat dalam pengelolaan dan pengambilan keputusan finansial, sedangkan inklusi keuangan fokus pada akses masyarakat terhadap layanan keuangan seperti transaksi dan tabungan.
“Masih tingginya kesenjangan antara literasi dan inklusi keuangan merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua. Jika masalah ini tidak ditangani dengan baik, kita bisa terus terjebak dalam status sebagai negara berkembang dan kesulitan untuk maju,” tegas Muttaqien.
Pernyataan ini menekankan urgensi peningkatan literasi keuangan di kalangan masyarakat agar dapat melindungi diri dari praktik keuangan yang merugikan dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif. (***)